Pages

Saturday 26 September 2015

Things I'm Willing To Do For My Son (and Things I'm Not)

Catatan: Awalnya gw ga menuliskan nama dokter yang gw ceritain di sini, tapi kemudian gw tulis setelah dapet update cerita dari suami gw.

***

I've drained my emotion and some of the exchanges has been repressed, so this post should be cool. Had I write this yesterday, it would be so full of rage I may not be able to write coherently.

And yes, my son is here already :)
But that's a story for another post.

So.
My son was diagnosed with tongue tie. His peds refered him to dr. Asti Praborini, Sp.A., IBCLC, an expert in that issue. I've read about her many times in articles related to tongue tie and it seems like she's one of the go-to person in Jakarta about tongue tie, so I thought bringing my son to her was on point despite the effort to bring my son to her practice which is quite far from where I reside now. Regarding the treatment for my son's tongue tie, it was. But....

I was caught off guard the first time I entered her room. I couldn't pinpoint the reason but my first impression was "why does she seem not friendly?". You know, it's like you meet a new person and out of nowhere got a hunch that you won't get along well with that person. Mimi would call that "cit" feeling haha.. That feeling aside, my husband and I sat facing her and she started asking questions about our plans about breastfeeding our son. I was uncomfortable with the way she asked questions and more so with the way she responded to our answers. It was like being in an oral comprehension test with Bu MZ. I could handle that, but I was confused as I thought I shouldn't feel like that as a patient. My job is very alike with hers, and "being tested" is not how I would like my clients to feel.

We proceeded. She performed incision to my son's tongue tie (and lip tie, I was told later on by another doctor - dr. Asti didn't mention anything about this) and from what I've read I assumed that after the incision I will breastfeed my son and go home. Go home happily, I might add, because the procedure should make breastfeeding easier and more comfortable for my son and me, right?

Boy how I was wrong.

After the incision (it's not scary, btw) my son was brought to me and I was expected to breastfed him. He didn't want to, maybe because his mouth was still feeling weird after the anesthesia and the incision. Then dr. Asti "helped" by teaching... oh slash that. that was not teaching... positioning my son to (later on i knew it's called) cross-cradle hold and then football hold. *i'm struggling to write the experience here. it's hard. and dammit i can't* OK I may can't write in details here about how it went, but the whole process was very emotional for me. I went through a multitude of feelings: frustrated because my son didn't want to be breastfed, confused and didn't know what to do because dr. Asti kept telling me that my position was wrong but didn't give clear instruction and didn't accept what I tried to improve the condition, shocked by how not gentle she handled my son and totally disliked it, and offended because she judged me (for example by saying "Kamu pasti ga bisa masak, soalnya ga terampil megang bayi" to which I wanted to retort "Ya saya emang ga masak anak bayi juga sih"). I was literally choking back tears and struggling to compose myself, yet I didn't feel angry. But apparently dr. Asti had different opinion. Through the process I was looking at my son, because where else was I supposed to look when talking to him and trying to breastfeed him, right? And suddenly dr. Asti pulled my chin and turned my face toward hers, saying "Jangan marah sama yang ngajarin" sternly.

OUTRAGEOUS.
No one ever did that to me.
No one has the right to.

Rage boiled inside me. Choking back tears was significantly harder. I wanted to slap her hand but both my hands were holding my son.

I can't imagine a health service provider, a counselor, doing that to her client. I can't imagine myself doing that to my client. Not in my wildest dream. I can't believe she just did that to me.

So, well..
Bringing my son to the best option out there when he needs medical treatment is something I'm definitely willing to do.
But going back to that doctor is not.

***

Update:
Tadi Andy cerita kalo ternyata dr. Asti bilang ke dia "Kamu harus hati-hati, istri kamu baby blues dan bisa depresi". Di titik gw denger cerita itulah gw memutuskan untuk menuliskan nama dr. Asti di sini. Gw ga marah dengernya, malah bengong dan ngakak. Asli lah. Menguap sudah rasa marah gw, berganti "Yaelah kalo dia ngasal begini mah berarti ga usah gw ambil hati lah semua omongannya". Di sisi lain, gw jadi khawatir pengalaman kaya gini juga terjadi pada orang lain dan efeknya merugikan, makanya gw putuskan untuk nulis nama dokternya di sini.

Waktu dr. Asti manggil Andy dan nyebutin "diagnosis" tadi, Andy dalam hati bilang "Sekarang mah bukan baby blues lah, yang ada dia lagi pengen nonjok elu" haha.. Trus dia jawab ke dokternya "Ah kalo depresi sih jauh, saya lebih tahu".

Yes, we know better.
We know better about our condition.
And we know better than judging clients and giving psychological diagnosis without proper anamnesis.

Gw psikolog, Andy sarjana psikologi. Kami tahu pasti bahwa gw saat ini insya Allah tidak sedang mengalami baby blues dan tidak memiliki risiko tinggi untuk mengalami post-partum depression.

Kami "beruntung" karena punya dasar ilmu untuk mempertimbangkan kembali dan menolak "diagnosis" dokter itu. Tapi gimana kalo hal itu diomongin ke orang yang ga ngerti? Gw khawatir malah bikin down. Apalagi kalo selama sesi si ibu baru juga di-judge ga terampil megang anak kayak gw. Udah mah dinilai ga kompeten sama figur yang dianggep lebih tau, dianggep bisa depresi pulak. Bae-bae jadi baby blues atau depresi beneran. Self-fulfilling prophecy. Ini berbahaya dan jelas merugikan pasien.

Gw berbagi pengalaman ini bukan untuk mendiskreditkan dr. Asti.
Poin gw adalah: Jangan menerima mentah-mentah apa kata orang, bahkan kalopun orang itu adalah figur otoritas seperti dokter. Take everything with a grain of salt, do your homework reading about your condition, and don't be hesitate to look for second opinion.

Semoga bermanfaat :)

Thursday 10 September 2015

Kenapa Kasih Saran Tentang Anak?

Berawal dari pertanyaan Mimi yang lagi bantuin penelitian orang, gw jadi merhatiin timeline media sosial gw dengan sedikit lebih serius. Yang akan gw bahas di tulisan ini lebih ke Instagram dan Facebook sih, karena fenomenanya juga lebih banyak gw temukan di situ daripada di Path, Twitter, atau Periscope. Gw ga masukin Snapchat dan ask.fm karena gw ga punya akunnya hahaha lagian tampaknya dua platform itu ga banyak dipake sama kelompok orang yang gw amati ini.

Meskipun pengamatannya sedikit lebih serius, ini bukan penelitian beneran yang pake 'niat' ngerjainnya jadi gw pun hanya mengamati apa yang udah ada di timeline gw. Artinya, latar belakang demografis dan minat gw juga mempengaruhi apa yang kemudian gw liat. Kalau digambarkan, yang gw amati di timeline gw adalah perempuan usia 25-35 tahun yang topik post-nya berkisar pada anak, skincare, dan makeup. Orang-orang ini ada yang gw kenal secara personal dan ada juga yang nggak.

Ada beberapa fenomena yang menarik berdasarkan hasil pengamatan gw. Sekarang gw mau bahas yang paling konsisten gw temukan dan paling anget gw bahas sama Mimi tadi pagi: komentar berupa saran.

Menurut KBBI, "saran" artinya "pendapat (usul, anjuran, cita-cita) yang dikemukakan untuk dipertimbangkan". Kebayang lah ya contoh "saran" itu kayak apa. Nah, yang gw temukan, orang cenderung kasih komen berisi saran di post yang topiknya tentang anak. Post itu sendiri seringkali ga berupa pertanyaan atau permintaan saran, tapi ada aja lho yang komen berupa saran. Hal ini gw temukan di post-nya selebgram dengan ribuan followers maupun rakyat jelata macam gw. Komen berupa saran ini bisa datang dari orang yang gw tau saling mengenal maupun dari orang yang gw asumsikan tak dikenal. Hal yang disaranin dalam komen itu bisa macem-maceeeeem banget, mulai dari cara cara berpakaian anak sampe saran untuk ngasih adik lagi buat anaknya.

Caption foto ini membahas baju menyusui, tapi komennya......
Sejauh yang gw amati, saran-saran ga diminta itu ga muncul dalam post yang topiknya skincare atau makeup. Gw belom pernah nemu tuh ada komen semacam "Jangan pake lipstik merk itu, kan bikin kering.." di post berupa foto Face of The Day atau swatch lipstik.

Nah, sekarang gw jadi penasaran nih..
Pengamatan gw bener ga sih? Dan kalau bener, kenapa ya?
Karena itu, boleh ya gw minta tolong buat jawab pertanyaan-pertanyaan di sini.. Atau kalo males buka link-nya mangga lah jawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini lewat komen di sini, email ke shantiandin@gmail.com, atau WhatsApp ke gw :D

  1. Pernah ga liat ada saran tanpa diminta tentang anak di post orang lain?
  2. Pernah ga dapet saran tanpa diminta waktu ngepost tentang anak?
  3. Pernah ga kasih saran tanpa diminta tentang anak di post orang yang dikenal? 
  4. Kalau pernah, apa alasannya?
  5. Pernah ga kasih saran tanpa diminta tentang anak di post orang yang ga dikenal? 
  6. Kalau pernah, apa alasannya?
  7. Pernah ga kasih saran tanpa diminta tentang topik selain anak di post orang yang dikenal? 
  8. Pernah ga kasih saran tanpa diminta tentang topik selain anak di post orang yang ga dikenal? 
  9. Kalau pernah, apa topiknya? (Sebutkan)

Trimakasiiii :)
Tuesday 1 September 2015

Maju Mundur Sekolah Lagi

Sore ini gw ngantuk banget, mau ngerjain setumpuk PR yang harus beres sebelum cuti sudah tak mampu tapi mau pulang juga belum dijemput. Buat ngisi waktu gw nulis-nulis random aja lah ya, kebetulan ada topik yang jadi kepikiran (lagi) setelah rapat siang tadi.

Sekolah lagi.

Kenapa sih gw mau sekolah lagi? Karena mau jadi dosen? Ih tapi males kalo jadi dosen harus masuk kantor tiap hari.. Berarti bukan ya, jadi dosen hanya efek samping yang mungkin terjadi kalo gw sekolah lagi. Lalu apa dong? Hmm.. gw masih pengen punya legacy berupa alat tes psikologi. Tapi kalo mau itu doang ga usah sekolah lagi kali ga? Yaaa, gw pikir sarana prasarana buat penelitian akan jauh lebih mudah kalo dilakukan dalam konteks pendidikan sih, baik sebagai mahasiswa maupun sebagai dosen.

Kalo gitu sekolah lagi di Indonesia aja. Yahahahahahahaha iya sih, kenapa selama ini ga mikir gitu ya? Haha.. Sejak wisuda S2 gw berniat kalopun wisuda lagi ga di UI sih, pengen ngerasain pendidikan di negara lain dengan pakar-pakar selain yang udah gw temui di UI. Pengen tau kemajuan ilmu di luar sana kayak apa sih.

Tapi hidup selalu butuh kompromi.

Kondisi gw sekarang kurang memungkinkan untuk berlama-lama kuliah di luar negeri. Karena itu, apabila penelitian yang gw mau feasible untuk dilakukan di Indonesia ya mungkin itulah jalan yang terbaik. Toh LPDP juga ngasih beasiswa untuk sekolah lanjutan di dalam negeri.

So, the game is on again?
 

Blog Template by BloggerCandy.com